Bismillah.
Segala puji bagi Allah yang telah mengutus rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan di atas seluruh agama. Salawat dan salam semoga terlimpah kepada hamba dan utusan-Nya yang membawa rahmat bagi segenap alam.
Amma ba’du.
Tidaklah diragukan oleh seorang muslim bahwa kebutuhan kepada hidayah adalah perkara yang sangat penting dalam kehidupannya. Dengan hidayah itulah seorang hamba akan mengenal Rabbnya. Dengan hidayah pula dia bisa meniti jalan yang lurus. Dengan hidayah dia akan terbebas dari cengkeraman kegelapan dan kesesatan menuju cahaya dan keselamatan. Oleh sebab itu seorang muslim memohon kepada Allah hidayah di setiap hari yang dia lalui.
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, hidayah dari Allah merupakan anugerah yang sangat besar. Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang yang beriman; ketika Allah mengutus di tengah-tengah mereka seorang rasul dari kalangan mereka yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya dan menyucikan diri-diri mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunnah). Padahal sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar berada dalam kesesatan yang amat nyata.” (Ali ‘Imran : 164)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, bahwa maksud dari ‘menyucikan mereka’ adalah memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang mungkar sehingga dengan sebab itu menjadi bersih jiwa-jiwa mereka dan tersucikan dari kotoran dosa dan keburukan yang dahulu melekat pada diri mereka ketika masih musyrik dan hidup di masa jahiliyah. Di dalam ayat ini Allah juga menjelaskan salah satu tugas rasul itu adalah membacakan kepada umatnya al-Kitab dan al-Hikmah; yang dimaksud ialah al-Qur’an dan as-Sunnah (lihat Tafsir Ibnu Katsir, 2/158)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata : Yang dimaksud al-Kitab adalah al-Qur’an, sedangkan al-Hikmah yaitu as-Sunnah (lihat Syarh Manzhumah Haa-iyah, hlm. 60)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, bahwa maksud dari ‘menyucikan mereka’ adalah membersihkan diri mereka dari syirik, maksiat, perbuatan dan perilaku yang rendah dan tercela serta segala macam akhlak yang buruk (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hlm. 155)
Allah berfirman (yang artinya), “Dan telah Kami turunkan kepadamu -Muhammad- al-Kitab (al-Qur’an) sebagai penjelas atas segala sesuatu, serta menjadi petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang pasrah/muslim.” (an-Nahl : 89)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan : Allah telah menjelaskan untuk kita di dalam al-Qur’an ini segala ilmu dan segala perkara (lihat Tafsir Ibnu Katsir, 4/594)
Allah berfirman (yang artinya), “Dan Allah telah turunkan kepadamu -Muhammad- al-Kitab dan al-Hikmah.” (an-Nisaa’ : 113)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan : Yang dimaksud al-Kitab adalah al-Qur’an sedangkan al-Hikmah itu adalah as-Sunnah (lihat Tafsir Ibnu Katsir, 2/410)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa ‘hikmah’ bisa ditafsirkan dengan as-Sunnah seperti dikatakan oleh sebagian ulama salaf bahwa turun kepada Nabi -wahyu- hikmah/sunnah sebagaimana turun kepadanya wahyu al-Qur’an. Selain itu istilah hikmah ini bisa juga bermakna pengetahuan tentang rahasia-rahasia syari’at yang itu mencakup hal-hal tambahan di luar pemahaman tentang hukum-hukum syari’at itu sendiri. Termasuk di dalam makna hikmah itu adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya dan mengatur atau mengurutkan segala hal sesuai dengan urutan dan tingkatannya (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hlm. 201)
Allah berfirman (yang artinya), “Dan Kami telah menurunkan kepadamu -Muhammad- peringatan itu (al-Qur’an) agar kamu jelaskan kepada manusia apa-apa yang telah diturunkan kepada mereka itu, dan mudah-mudahan mereka memikirkan.” (an-Nahl : 44)
Allah berfirman (yang artinya), “Alif lam ra’. Inilah kitab yang Kami turunkan kepadamu agar kamu mengeluarkan manusia dari kegelapan-kegelapan menuju cahaya dengan izin Rabb mereka menuju jalan (Allah) Yang Mahaperkasa lagi Mahaterpuji.” (Ibrahim : 1)
Dengan al-Qur’an Allah mengeluarkan orang beriman dari berlapis-lapis kegelapan menuju cahaya. Allah berfirman (yang artinya), “Allah penolong bagi orang-orang yang beriman; Allah mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan menuju cahaya, sedangkan orang-orang kafir penolong mereka adalah thaghut; yang mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan-kegelapan. Mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (al-Baqarah : 257)
Ingat Tujuan Hidupmu
Allah menciptakan kita bukan untuk bermain-main atau sia-sia belaka. Ada tujuan agung di balik penciptaan dunia dengan segala isinya. Allah berfirman (yang artinya), “Apakah kalian mengira bahwasanya Kami menciptakan kalian hanya untuk bermain-main/sia-sia, dan bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami. Maha tinggi Allah Raja yang haq, tidak ada sesembahan -yang benar- selain Dia.” (al-Mu’minun : 115-116). Allah berfirman (yang artinya), “Apakah manusia mengira bahwa dia akan ditinggalkan begitu saja…” (al-Qiyamah : 36)
Syaikh al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Karena keberadaan umat manusia yang hidup kemudian bersenang-senang sebagaimana bersenang-senangnya binatang lalu mati tanpa ada hari kebangkitan dan penghisaban/penghitungan amalan adalah suatu hal yang tidak layak bagi sifat hikmah Allah ‘azza wa jalla, bahkan hal itu suatu perbuatan main-main/sia-sia belaka…” (lihat Syarh Tsalatsah Ushul, hlm. 31 cet. Dar ats-Tsurayya)
Allah menceritakan perkataan Nabi Musa ‘alaihis salam kepada Bani Isra’il (yang artinya), “Jika kalian kafir dan juga seluruh yang ada di bumi, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Ibrahim : 8). Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Maka maslahat ibadah tidaklah kembali kepada Allah. Karena sesungguhnya Allah tidak membutuhkan mereka dan tidak juga ibadah-ibadah mereka. Seandainya mereka semua kafir maka hal itu tidak akan mengurangi kerajaan Allah sama sekali. Dan seandainya mereka semua taat maka hal itu pun tidak akan menambah apa-apa di dalam kerajaan-Nya.” (lihat Da’watu at-Tauhid wa Sihamul Mughridhin, hlm. 8)
Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman, “Wahai hamba-hamba-Ku, seandainya orang yang paling pertama sampai yang paling terakhir diantara kalian dari kalangan manusia atau jin, mereka semua memiliki hati yang paling bertakwa diantara kalian maka hal itu tidak akan menambah sedikit pun dalam kerajaan-Ku. Wahai hamba-hamba-Ku, seandainya orang yang pertama hingga paling terakhir diantara kalian dari kalangan manusia dan jin, semuanya memiliki hati yang fajir/jahat sejahat-jahatnya hati diantara kalian, maka hal itu pun tidak akan mengurangi sedikit pun dari kerajaan-Ku.” (HR. Muslim dari Abu Dzarr radhiyallahu’anhu)
Ketika menjelaskan faidah hadits di atas, Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah berkata, “Dan bahwasanya ketakwaan setiap insan sesungguhnya akan memberikan manfaat bagi orang yang bertakwa itu sendiri. Demikian pula kefajiran/maksiat yang dilakukan oleh setiap orang yang fajir maka itu pun hanya akan membahayakan dirinya sendiri.” (lihat Kutub wa Rasa’il, 3/157)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya Allah tidak butuh kepada kita dan tidak pula kepada ibadah-ibadah kita. Akan tetapi sesungguhnya kita inilah yang membutuhkan ibadah kepada Allah; supaya mendekatkan diri kita kepada-Nya, agar kita bisa sampai kepada Rabb kita ‘azza wa jalla, dan memperkenalkan diri kita kepada-Nya, maka dengan itu kita akan meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat.” (lihat Da’watu at-Tauhid wa Sihamul Mughridhin, hlm. 9)
Allah berfirman (yang artinya), “Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku maka sesungguhnya dia akan mendapatkan penghidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkan dia kelak pada hari kiamat dalam keadaan buta. Dia berkata; Wahai Rabbku, mengapa Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta padahal dahulu aku bisa melihat. Allah menjawab ; Demikianlah yang pantas kamu peroleh, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami tetapi kamu justru melupakannya, maka begitu pula pada hari ini kamu dilupakan.” (Thaha : 124-126)
Ibnu ‘Abbas menafsirkan bahwa yang dimaksud penghidupan yang sempit itu adalah kesengsaraan. Diriwayatkan pula dari beliau bahwa beliau mengatakan, “Setiap harta yang diberikan kepada seorang hamba; sedikit ataupun banyak, sementara dia tidak menggunakan harta itu dalam ketakwaan maka tidak ada kebaikan padanya, itulah yang dimaksud kesempitan dalam hal ma’isyah/penghidupan…” Sa’id bin Jubair menafsirkan bahwa salah satu bentuk kesempitan hidup itu adalah dicabutnya qana’ah/perasaan cukup di dalam hati sehingga dia tidak pernah merasa kenyang alias rakus dan tamak terhadap dunia (lihat tafsir karya Imam al-Baghawi Ma’alim at-Tanzil, hlm. 829)
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya anak Adam memiliki satu lembah emas, niscaya dia ingin mendapatkan dua lembah emas. Dan tidak akan memenuhi mulutnya selain tanah. Dan Allah akan menerima taubat bagi siapa yang mau bertaubat.” (Muttafaq ‘alaih)
Imam Bukhari rahimahullah dalam kitabnya Shahih Bukhari menyebutkan hadits tersebut di dalam Kitab ar-Riqaq (pelembut hati) di bawah bab berjudul ‘Hal yang perlu diwaspadai sebagai akibat dari fitnah harta..’. Hadits ini mengandung pelajaran bahwa seorang tidak akan habis rasa tamaknya kecuali apabila sudah meninggal. Oleh sebab itu disebutkan di dalamnya ‘dan tidak akan memenuhi mulutnya kecuali tanah’. Hadits ini juga mengandung hikmah bahwa Allah akan menerima taubat bagi orang yang rakus sebagaimana Allah juga menerima taubat bagi pelaku dosa yang lainnya. Dan tidak ada manusia yang bisa terlepas dari sifat rakus mengumpulkan harta ini kecuali orang yang Allah jaga dan Allah beri taufik (lihat Fath al-Bari, 11/308 cet. Dar as-Salam)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta-benda. Akan tetapi kekayaan itu adalah rasa cukup di dalam hati.” (HR. Bukhari). Orang yang qana’ah akan merasa tenang walaupun hartanya sedikit. Pikirannya akan tentram. Dia bersyukur kepada Allah dan memuji atas nikmat-Nya. Dia merasa ridha/puas dengan apa yang telah Allah bagikan untuknya (lihat Minhatul Malik, 11/392)
Abu Qilabah rahimahullah berkata, “Tidaklah membahayakan kalian dunia apabila kalian mampu menunaikan syukur atasnya.” (lihat ‘Uddatu ash-Shabirin, hlm. 230)
Karena itulah Abu Hazim rahimahullah mengatakan, “Setiap nikmat yang tidak menambah dekat kepada Allah adalah malapetaka.” (lihat ‘Uddatu ash-Shabirin, hlm. 243)
Ungkapan senada juga dikatakan oleh Sufyan ats-Tsauri rahimahullah. Beliau mengatakan, “Orang-orang terdahulu mengatakan bahwa bukanlah termasuk orang yang fakih/paham agama apabila dia tidak bisa melihat musibah sebagai nikmat dan kelapangan sebagai suatu bentuk bencana.” (lihat ‘Uddatu ash-Shabirin, hlm. 245)
Allah ‘azza wa jalla berfirman (yang artinya), “Jika kalian kafir maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi tidak membutuhkan kalian. Dan Allah tidak ridha terhadap kekafiran bagi hamba-hamba-Nya. Dan apabila kalian bersyukur maka Allah pun meridhai hal itu bagi kalian.” (az-Zumar : 7)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Adapun syukur, ia adalah menunaikan ketaatan kepada-Nya dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan berbagai hal yang dicintai-Nya baik yang bersifat lahir maupun batin.” (lihat al-Fawa’id, hlm. 193 penerbit ar-Rusyd)
Apabila kita mau bersyukur kepada Allah maka ketahuilah saudaraku -semoga Allah merahmatimu- bahwa hal itu menjadi sebab Allah menahan azab-Nya kepada manusia. Allah berfirman (yang artinya), “Tidaklah Allah akan berbuat dengan mengazab kepada kalian jika kalian bersyukur dan beriman, dan Allah itu Maha berterima kasih lagi Maha mengetahui.” (an-Nisaa’ : 147). Allah adalah asy-Syakur yaitu yang Maha berterima kasih. Allah mau menerima amalan walaupun sedikit. Tidak ada amalan yang Allah sia-siakan. Bahkan Allah akan lipatgandakan pahalanya (lihat Fiqh al-Asma’ al-Husna, hlm. 241 karya Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah)
Bencana Membawa Nikmat
Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah dalam Kitab Tauhid-nya menyebutkan firman Allah (yang artinya), “Barangsiapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan berikan petunjuk ke dalam hatinya.” (at-Taghabun : 11). Alqomah -seorang ulama tabi’in- mengatakan, “Maksud ayat ini adalah berkenaan dengan seorang yang tertimpa musibah; dia mengetahui bahwa musibah itu datang dari sisi Allah, maka dia pun ridha dan pasrah.” Diantara faidah ayat itu adalah bahwa sabar merupakan sebab datangnya hidayah ke dalam hati, selain itu diantara balasan bagi orang yang sabar adalah mendapatkan tambahan hidayah (lihat al-Mulakhkhash fi Syarhi Kitab at-Tauhid, hlm. 278)
Dari Anas radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabilah Allah menghendaki kebaikan pada hamba-Nya maka Allah segerakan untuknya hukuman di dunia. Dan apabila Allah menghendaki keburukan pada hamba-Nya maka Allah tahan hukuman itu akibat dosanya sampai Allah akan sempurnakan hukumannya nanti di hari kiamat.” (HR. Tirmidzi dan Baihaqi, dinyatakan sahih oleh al-Albani). Dari sini kita mengetahui bahwa sesungguhnya adanya musibah-musibah adalah salah satu cara untuk menghapuskan dosa-dosa. Selain itu, adanya musibah akan membuat orang kembali dan bertaubat kepada Rabbnya. Bahkan dihapuskannya dosa-dosa itu merupakan salah satu bentuk nikmat yang paling agung, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (lihat Ibthal at-Tandid, hlm. 175)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya niscaya Allah timpakan musibah kepadanya.” (HR. Bukhari). Oleh sebab itulah dikisahkan bahwa sebagian para ulama terdahulu apabila dia melihat bahwa dirinya tidak pernah tertimpa musibah baik berupa tertimpa penyakit/sakit atau yang lainnya maka dia pun mencurigai dirinya sendiri (lihat at-Tam-hid li Syarhi Kitab at-Tauhid, hlm. 379)
Sikap Manusia Saat Tertimpa Musibah
Syaikh al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan ada 4 golongan manusia di saat tertimpa musibah.
Golongan pertama; marah dan protes kepada Allah atas musibah yang menimpanya. Dari hatinya dia merasa bahwa Allah telah menganiaya dirinya. Kemudian muncullah cacian dan umpatan dari lisannya, dan tangannya pun bergerak untuk menampar-nampar pipi, mengacak-acak rambut atau pakaian untuk mengekspresikan ketidakpuasannya terhadap ketetapan Allah ini. Golongan yang pertama ini mendapatkan dosa. Mereka pun tertimpa dua musibah sekaligus; musibah dunia dan musibah agama. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula…
Golongan kedua; bersabar dalam menghadapi musibah, hatinya memang pedih dan terluka akibat musibah ini, akan tetapi dia sanggup menahan lisan dan anggota badannya untuk tidak melakukan sesuatu yang Allah murkai. Inilah golongan yang mendapatkan pahala karena telah menunaikan kewajibannya.
Golongan ketiga; orang yang merasa ridha atas musibah yang menimpanya. Baginya musibah adalah sesuatu yang biasa, seolah-olah dia tidak merasakannya. Dadanya lapang menerimanya. Golongan ini mendapat pahala yang lebih daripada golongan yang kedua.
Golongan keempat; orang yang bersyukur atas musibah yang dialaminya. Sebagaimana hal itu dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala tertimpa musibah atau sesuatu yang tidak menyenangkannya maka beliau justru berkata, “Segala puji bagi Allah bagaimana pun kondisinya.” Inilah tingkatan yang tertinggi. Sebagian ahli ibadah yang tertimpa musibah pun mengatakan, “Sesungguhnya manisnya pahala telah membuatku lupa dari pahitnya sabar saat menghadapinya.” (lihat Syarh Riyadhus Shalihin [1/90-91])